Karya: Fathul H. Panatapraja
Ini desa yang penuh gairah. Sebagian besar masyarakatnya bercocok tanam di sawah. Sebagian lain mencari kroto, bekicot dan lintah. Anak-anak mereka memiliki semangat yang lain, bersekolah dan kuliah.
Desa yang penuh gairah. Dipimpin oleh seorang lurah. Pak Lurah memagari rumahnya dengan kolam ikan nila. Setiap akhir pekan, ratusan kail ikan bergerombol di kambang kolam, seperti teratai yang mengumpul menyembul. Kail-kail itu seperti kapsul yang ditembakkan ke lokasi terdekat mulut ikan. Kolam ini pun tak ubahnya seperti kapsul penenang, agar Pak Lurah kembali menang setiap pemilihan. Di depan kekuasaan, kita memang harus pandai menyenangkan banyak orang.
Pak Lurah tahu, desa ini tak akan bisa maju, karena tak ada yang bisa dibanggakan selain semangat grudak-gruduk. Semangat itulah yang dimanfaatkannya bertahun-tahun untuk berkegiatan ini dan itu, mulai kegiatan olahraga hingga acara-acara agama, pengajian dan doa bersama, allahumma ini – allahumma itu, minta begini – minta begitu. Tapi masyarakat tak pernah diajak mengolah tanah dan mencari kemungkinan-kemungkinan lain untuk perbaikan dan kesejahteraan. Masyarakat yang dilumuri semangat namun tanpa kepemimpinan yang baik sama halnya dengan menabur benih padi di atas hamparan ladang yang tak terairi.
Sebenarnya, sebagian masyarakat ingin pemimpin yang lain. Seperti halnya semangat demokrasi di belahan desa yang lain. Mereka tidak ingin ada lurah dongkol[1]. Mereka bukanlah masyarakat kritis, namun merasa sudah bosan. Jangan dikira, setiap gejolak dimulai dari pikiran kritis, bisa jadi lain, ini salah satunya. Sikap kebosanan yang melahirkan semangat perubahan.
“Siapa ya, yang pantas menjadi lurah baru kita?” Tanya seorang di dekat perapian di pertigaan jalan
“Halah ya sembarang, terserah, yang penting ganti!” kata seorang yang lain
Perbincangan-perbincangan di pertigaan, dialog-dialog kultural, obrolan warung kopi, adalah bagian penting (jika tak bisa disebut penentu) bagi proses politik yang kita lihat selama ini digelar di negeri ini. Obrolan di luar ruangan, pertemuan di meja makan, atau komunikasi di lobi restoran adalah detik-detik penting dan mendebarkan bagi para elit politik. Di permukaan ada perhelatan besar dengan berbagai nama, kongres, muktamar atau apapun, namun halaman pentingnya adalah di jalur komunikasi belakang panggung. Bahkan ada elit politik yang melakukan lobi terakhir di tempat yang tak terduga, yakni pom bensin, saat sama-sama sedang mengisi bahan bakar kendaraan. Sambil mengantri, tak sengaja, akhirnya kedua elit itu pun melakukan deal.
Persis seperti saat proses pemilhan presiden antara Megawati dan Gus Dur, komunikasi politik yang menentukan adalah di tangga bersusun, di mana Panda Nababan mewakili Megawati untuk mengkonfirmasi kepada Gus Dur perihal sesuatu yang sedang terjadi. Atau kisah yang mendebarkan saat menjelang pemilu 2019, Mahfud MD menunggu di seberang gang dengan mengenakan pakaian yang disiapkan untuk deklarasi bakal calon wakil presiden mendampingi Jokowi, namun tak jadi dipanggil, ternyata yang disebut namanya, orang lain, yakni KH. Ma’ruf Amin.
***
Orang desa, ada yang tak berubah dari dulu, yakni dalam memanggil nama seseorang. Suhaimi jadi Kemi, Saiful dipanggil Ipul, Syafaat disebut Pangat. Sejak sebelum TV masuk desa, lalu TVRI merajai, hingga kini saat TV analog sudah berpindah ke digital, nama seseorang selalu ada perubahan, lidah orang desa mungkin adalah lidah dekonstruksi. Juga Komet, nama aslinya Humaidi. Namun ia sejak kecil dipanggil Komet. Di desa, jika kita mencari alamat seseorang, pastikan nama yang kita ketahui sama dengan yang di lapangan, tak bisa sekadar bermodal nama KTP.