Karya: Ahmad Farid Yahya

Aku menemui rongga-rongga dalam diriku, berkelok-kelok, seperti labirin, gelap, juga senyap.

Setelah kepergian ibuku, aku tak memiliki kehendak yang cukup kuat untuk kembali ke rutinitas, hari yang berjalan normal, rumah. Di saat-saat tertentu, kadang ada suara-suara yang beradu dalam pikiranku seperti gesekan sterofom pada kaca. Mengganggu. Tapi tak bisa kulawan hanya dengan menutup telinga. Sebab suara itu berasal dari dalam, dan sering menciptakan resonansi panjang di jalur-jalur labirin diriku. Sesekali hening. Sesekali mengeluarkan suara. Seperti hentakan. Mengoyak kesadaran. Membangunkan ketidaksadaran.

Awalnya aku merasa ada yang terjadi. Apakah aku bersedih karena memang sedih, atau hanya karena selama ini orang memang melakukan hal yang seperti itu ketika mengalami peristiwa yang seperti itu. Aku terdiam tengah malam. Lalu perlahan kepalaku mulai merasakan ada yang aneh. Terasa begitu berat. Seperti stabilizer yang mencoba kembali ke posisi semula ketika mendapat hentakan kasar.

Pernah aku merasa bahwa perasaanku telah mati. Aku sudah tidak bisa merasa sedih ketika ada anggota keluargaku yang meninggal. Aku hanya merasakan kepalaku bergoyang dan kebingungan mencari posisi stabilnya sehingga hanya diam dan tak merasakan apapun. Begitu datar. Itu terjadi beberapa kali.

Tapi ternyata aku keliru. Peristiwa kemarin telah menunjukkan bahwa aku masih punya perasaan. Bahkan lebih dari itu. Ia menunjukkan bahwa perasaan dan pikiran manusia begitu rentan. Mudah retak oleh hentakan-hentakan. Aku merasakan sebuah kesedihan yang seolah tidak akan selesai. Aku menangis. Tapi setelah itu aku tidur. Tidur yang begitu melelahkan. Dengan masih membawa kesadaran di tepian tidurku–bahwa ada yang menyedihkan dalam hidupku, dan tak bisa diubah, dan harus kuhadapi, dan tak pernah kupersiapkan sebelumnya, tapi menghabiskan begitu banyak waktu dalam hidupku untuk merasa ketakutan mengalaminya.

Kegelisahan itu tak hanya menciptakan labirin dalam diriku melainkan juga labirin di luar diriku. Aku tersesat. Tak mampu meningkahi sekat-sekat tak kasat. Itu membuatku tidak stabil dan takut. Aku melarikan diri dari kenyataan dan bersembunyi di bilik sempit di pojokan warung kopi milik temanku yang menjadi guru sekolah swasta dan membuka warung kopi karena gaji guru honorer tidak cukup buat makan sebulan. Aku menginap di kamar itu selama beberapa hari. Sedang temanku sendiri, ketika siang ia mengajar dan warung kopi itu dijaga oleh seorang anak buah. Ia baru ke warung sepulang dari sekolah, kemudian menjaga warung itu sampai larut malam.

1 2 3

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *