Oleh: A. Muhaimin DS
“Gajah mati meninggalkan gading,
Manusia mati meninggalkan nama.”
“Apa kalian pernah dengar peribahasa di atas?” tanyamu pada seisi kelas. Diikuti dengan semua tatapan mata seisi kelas menuju ke arahmu, namun kau tetap mendapati kelas yang hening. Tak ada tanda-tanda muridmu akan menjawab pertanyaanmu itu. Justru mereka saling pandang satu sama lain. Harusnya mereka sudah tahu peribahasa yang kau sampaikan tadi, karena mereka sekarang sudah duduk di kelas dua SMP. Sedangkan di masa mudamu dulu, di kelas enam SD saja kau sudah mengenal beberapa peribahasa. Salah satunya yang kau sampaikan tadi.
“Maaf Bu, bolehkah saya bertanya?”
“Tidak ada yang bisa melarang seseorang untuk mencari jawaban dari keingintahuannya. Tanyalah nak!” sambutmu dengan gembira ketika seorang anak laki-laki bertubuh mungil mengacungkan tangannya. Dia adalah Reksa, seorang murid baru yang pindah dari Sumatera ke Jawa mengikuti neneknya yang memutuskan pulang ke Jawa setelah puluhan tahun tinggal di Sumatera.
Neneknya adalah seorang Bidan yang ditugaskan di pulau Sumatera pada masa itu. Berpuluh tahun hidup dengan suami dan anak-anaknya. Sampai lahirlah cucu kesayangannya dari putri sulungnya yang diberi nama Reksa. Reksa yang sangat dekat dengan neneknya akhirnya ikut pulang ke Jawa untuk menemani neneknya yang ingin menikmati usia senjanya di tanah kelahirannya. Tempat bermain di masa kecilnya dulu.
“Kamu mau tanya apa nak?” tanyamu dengan lembut sambil berdiri di sampingnya.
“Apa benar gajah mati itu meninggalkan gading Bu?”
“Tentu nak. Gajah yang sudah tua pasti memiliki gading yang besar dan kuat nak. Dan gading-gading itu akan bertahan lebih lama dari pada bagian tubuh lainnya yang akan segera membusuk terurai oleh organisme pengurai.”
“Bu di kampung tempat tinggalku di Sumatera, pernah saya melihat seekor gajah mati dan membusuk dengan kondisi mengenaskan. Bahkan gadingnya tidak ada Bu. Lalu gading itu ke mana Bu?
“Gajah itu berarti dibunuh seseorang nak. Mereka adalah sekelompok manusia kejam yang memperjual belikan gading gajah. Mereka akan mengambil gading gajah itu dan membiarkan gajahnya mati.”
“Mereka jahat ya Bu.” Pekik Reksa murid barumu itu. Mungkin dia satu-satunya yang pernah melihat gajah di habitat aslinya, di Sumatera. Sedangkan, teman-teman sekelasnya hanya sebatas melihat gajah di televisi atau kebun binatang.
“Kalau kalian sudah dewasa nanti, mau bekerja sebagai apapun. Kalian harus menjadi seorang yang mencintai lingkungan. Jangan semena-mena memanfaatkan alam secara berlebihan. Kalian harus ikut merawatnya agar tetap lestari. Mengerti anak-anak?” kau menutup penjelasanmu siang itu.
“Baik Bu.” Mendengar jawaban murid-muridmu dengan lantang membuatmu bahagia siang itu. Kau melanjutkan lagi pelajaran hari itu dengan kalimat tanya lagi. “Apa maksud dari peribahasa di atas?”
Lagi-lagi Reksa kembali mengacungkan tangannya. Berbeda dengan sebelumnya, raut wajahnya kini memerah dan matanya kemudian berkaca-kaca. “Kenapa Reksa?” tanyamu keheranan dan penuh selidik.
“Apa pemberian nama untuk gajah-gajah itu penting Bu, lebih penting dari hidupnya?” tanya Reksa dengan nada gemetar. Pertanyaan yang keluar dari mulut mungil Reksa siang itu ikut mendesirkan hatimu. Beberapa bulan yang lalu kau sempat membaca koran yang memberitakan seekor gajah yang menjadi simbol di kebun binatang kotamu mati setelah tampil dengan berbagai atraksi menghibur pengunjung kebun binatang. Berita itu menjadi sangat populer dan menjadi duka cita yang mendalam bagi masyarakat Indonesia.
***